Konflik dan Pelanggaran HAM di KEK Mandalika Belum Diselesaikan, AIIB Diminta Tak Cairkan Sisa Pinjaman ke ITDC

LOMBOK TENGAH | Konsultasi public tentang mekanisme komplain yang dilaksanakan oleh Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) di Hotel Borobudur Jakarta, pada Rabu, (12/6/2024), dengan mengundang sejumlah instansi pemerintah terkait dan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang bertujuan untuk menyusun mekanisme complain terhadap setiap proyek pembangunan infrastruktur yang didanai oleh AIIB termasuk pembangunan Infrastruktur di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) The Mandalika di Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), mendapat perlawanan dari Aliansi Solidaritas Masyarakat Lingkar Mandalika ( ASLI-Mandalika ), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) dan Lembaga Studi dan Bantuan Hukum Nusa Tenggara Barat (LSBH-NTB), yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPI).
Pada hari dan tanggal yang sama, KPPI menggelar Diskusi Publik dan Konferensi pers Mekanisme Complain AIIB Menghambat Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di KEK The Mandalika.
Kegiatan yang berlangsung di Musholla Nurul Jannah, tepatnya di sebelah selatan Sirkuit Internasional Mandalika di Dusun Ebunut, Desa Kute, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah dihadiri oleh ratusan masyarakat korban penggusuran lahan yang dilakukan oleh PT. ITDC selaku pengembang KEK The Mandalika dan dihadiri oleh sejumlah Narasumber dari Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria dan Peneliti KPPI, Hary Sandi Ame. Direktur LBH NTB, Burhanuddin SH,. MH. Dr. Widodo Dwi Putro SH. M. Hum dan Sekjen Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Sayful Wathoni.
KPPI menilai bahwa tanpa penerapan Free, Prior, Inform and, Consent (FPIC) dan standar perlindungan keamanan sosial dan lingkungan (Social and Environment Framework-SEF) AIIB dan serta standar perlindungan hak asasi manusia (HAM) internasional lainnya, mekanisme complain apapun yang akan dibentuk oleh AIIB, tidak akan berarti apa-apa untuk penyelesaian setiap pelanggaran terhadap masyarakat akibat pelaksanaan proyek yang didanainya. Karenanya, konsultasi public yang diselenggarakan oleh AIIB tidak akan pernah menjadi konsultasi yang bermakna dan tidak mungkin dapat melahirkan resolusi yang objektif tanpa melibatkan masyarakat terdampak dan mendengarkan secara langsung setiap keluhan dan aspirasinya, serta tanpa melibatkan organisasi masyarakat sipil yang secara langsung dan aktif melakukan pendampingan terhadap masyarakat terdampak. “Kami bahkan sangat mengkhawatirkan bahwa resolusi dan mekanisme yang akan dibentuk melalui konsultasi ini, justeru akan menjadi legitimasi setiap penyelesaian konflik dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat terdampak yang dilakukan secara diskriminatif, tidak adil dan, tidak transparan seperti selama ini. Lebih jauh lagi, mekanisme complain yang akan dihasilkan, akan terus melestarikan pelanggaran yang terus memerosotkan penghidupan Masyarakat terdampak, baik secara sosial, ekonomi dan, kebudayaan maupun dalam aspek lingkungan dan keamanan. Sebaliknya, mekanisme ini akan menghambat penegakan HAM dan perlindungan sosial, ekonomi dan, keamanan bagi Masyarakat terdampak,” ucap Sekjen Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Sayful Wathoni.
AIIB kata Thoni, adalah salah satu lembaga keuangan multilateral yang saat ini terus menyebarkan kapitalnya ke berbagai negeri, terutama dalam skema investasi dan utang untuk pendanaan proyek-proyek infrastruktur.
Di Indonesia, lanjut Thoni, lembaga keuangan pimpinan Tiongkok ini, mengucurkan dananya pertama kali adalah untuk proyek pembangunan infrastruktur dasar mega proyek pariwisata kawasan ekonomi khusus (KEK) Mandalika, melalui perjanjian kontrak yang disepakati tahun 2018. “Komitmen Investasi ini dengan total nilai sebesar US $ 248. 4 Juta atau 78,5 Persen dari total kebutuhan pendanaan KEK Mandalika, adalah proyek perdana AIIB yang didanai secara tunggal di Indonesia, tanpa kolaborasi atau konsorsium dengan lembaga keuangan Internasional lainnya. Celakanya, dalam penggunaan dana pinjaman AIIB tersebut untuk pelaksanaan proyek pembangunan KEK Mandalika, tidak diawali dengan serangkaian konsultasi bermakna dan pelaksanaan (FPIC) secara komprehensif yang disyaratkan oleh perserikatan bangsa-bangsa (PBB) sebagai standar pelaksanaan proyek investasi dan pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan dan korporasi Internasional. Akibatnya, AIIB tidak dapat menerapkan secara penuh standar perlindungan keamanan sosial dan lingkungannya, yakni social and environment framework (SEF) yang harus diadopsi dan dijadikan panduan pelaksanaan proyek oleh kliennya. Kenyataannya, pelaksanaan proyek ini selanjutnya telah disertai dengan serangkain pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh kliennya, yaitu Pemerintah Indonesia dan PT Indonesian Tourism Development Corporation (PT. ITDC) yang ditunjuk sebagai pengembang atas nama Badan Usaha Milik Negara (BUMN),” paparnya
Thoni mengungkapkan, pengerahan aparat keamanan secara berlebihan (tentara dan polisi), intimidasi, kekerasan dan, kriminalisasi serta berbagai upaya penggusuran paksa terhadap masyarakat terdampak proyek Mandalika adalah serangkaian fakta yang mewarnai pembangunan proyek di KEK The Mandalika. “Proyek ini telah menyebabkan masyarakat terdampak kehilangan tanah, tempat tinggal, akses terhadap laut dan pesisir, serta sumberdaya alam lainnya. Bahkan, hingga memasuki tahun keenam pelaksanaan proyek ini, masih menyisakan konflik lahan yang belum tuntas, pemukiman kembali yang tidak adil dan diskriminatif, tidak transparan dan, bahkan sangat tidak layak, baik secara geografis, lingkungan, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Hingga saat ini pula, tidak ada upaya pemulihan atas penghidupan sosial dan ekonomi bagi masyarakat terdampak yang sudah tercerai-berai dan akhirnya terus terjerat hutang dan kemiskinan yang semakin merosot,” sebutnya
Berbagai upaya penyelesaian konflik, kritik dan protes, serta complain yang dilakukan masyarakat tidak pernah ditanggapi secara baik oleh pemerintah dan ITDC, termasuk oleh AIIB yang melakukan pembiaran terhadap kliennya tanpa intervensi apapun untuk menghentikan seluruh kenyataan pahit yang ditimpakan kepada masyarakat terdampak. “Pengalaman kami melakukan pengaduan atau laporan atas berbagai pelanggaran HAM dalam pelaksanaan proyek Mandalika, kami sudah sekian kali menyampaikan komplain kepada pemerintah Indonesia dan PT. ITDC, AIIB, hingga Dewan HAM PBB, namun hingga saat ini belum ada penyelesaian yang baik dan adil atas berbagai masalah yang dialami oleh masyarakat terdampak. Pada akhir tahun 2023 lalu, kami bersama masyarakat terdampak juga akhirnya dapat bertemu langsung dan menyampaikan keluhan (complain) kepada AIIB, namun hingga saat ini, tidak ada indikasi apapun yang menunjukkan bahwa AIIB bersama kliennya memiliki niat untuk menyelesaikan seluruh permasalahan yang dialami masyarakat terdampak,” keluh Thoni.
“Artinya bahwa, laporan langsung masyarakat terdampak kepada AIIB saja tidak disikapi, apalagi dengan mekanisme complain yang baru akan dirumuskan dan selanjutnya pasti akan mengharuskan syarat dan proses yang lama. yang disusun tanpa melibatkan masyarakat terdampak dan organisasi-organisasi yang mendampinginya. Mekanisme Complain ini bahkan bisa jadi akan menjadi dasar bagi AIIB untuk menolak laporan warga dengan alasan tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh mekanisme Complaian,” sambung Thoni.
Dalam kesempatan tersebut, Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur KPPI) Indonesia menyatakan sikap, yakni menolak Penyelenggaraan Konsultasi Publik Mekanisme Compalain AIIB tanpa melibatkan masyarakat terdampak dan organisasi masyarakat sipil yang secara langsung dan aktif melakukan pendampingan bagi masyarakat terdampak. Menolak mekanisme complain apapun yang hanya akan mengandalkan keluhan dan tuntutan masyarakat terdampak dan memperpanjang proses penyelesaian konflik. “Bersama ini, kami juga menuntut, AIIB harus melakukan audit secara independen atas konflik lahan di Kawasan Mandalika dan melakukan assessment atas penerapan standar perlindungan sosial dan lingkungannya sendiri, yakni Social and Environment Framework (SEF). AIIB harus melakukan Intervensi terhadap Kliennya, Pemerintah Indonesia dan PT. ITDC untuk Segera menyelesaikan konflik lahan secara adil dan transparan. Jalankan program pemukiman kembali yang layak secara adil, demokratis dan, transparan tanpa pemaksaan, intimidasi, manipulasi dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Jalankan secara adil dan konsisten pemulihan penghidupan sosial, ekonomi dan keamanan bagi masyarakat terdampak. AIIB dan Kliennya, pemerintah Indonesia dan PT. ITDC harus menghentikan pengerahan aparat keamanan secara berlebihan, baik aparat kepolisian, tentara, maupun kekuatan sipil lainnya yang sangat berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM yang semakin panjang bagi masyarakat terdampak, dan AIIB tidak boleh mencairkan sisa dana pinjaman yang masih belum didistribusikan sebelum terselesaikannya konflik dan seluruh bentuk pelanggaran HAM terhadap masyarakat terdampak,” ujar Sayful Wathoni. [slnews – rul]
Tinggalkan Balasan