SHOPPING CART

close

Talk Show STPI, Rumuskan Rekomendasi Kebijakan Untuk Penanganan TBC di Indonesia

Stop TB Partnership Indonesia (STPI)
Talk Show Kajian dan Penelitian TBC Resisten Obat (RO), Selasa, (11/4/2023) yang dapat ditonton kembali di Youtube STPI.

JAKARTA | Stop TB Partnership Indonesia (STPI) melaksanakan Talk Show Kajian dan Penelitian TBC Resisten Obat (RO) pada Selasa, (11/4/2023) yang dapat ditonton kembali di Youtube STPI. 

Kegiatan ini bertujuan untuk mendiseminasikan hasil kajian dan penelitian yang sudah dilakukan STPI pada kepentingan program penanggulangan TBC dan media massa. 

Acara ini mengundang tim kerja TBC Kementerian Kesehatan RI, berbagai kementerian terkait, organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang TBC, anggota Forum STPI, BAZNAS serta media.

Dalam sambutannya, Ketua Yayasan STPI & Authorized Signatory PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, dr. Nurul Nadia HW Luntungan menyampaikan, STPI bersama komunitas fokus untuk bertanggungjawab bersama-sama melakukan kajian dan penelitian dalam penanggulangan TBC RO. “Kami harap hasil penelitian dan kajian ini dapat menjadi aksi untuk memperbaiki lingkungan program dan meningkatkan kesadaran bahwa TBC masih merupakan masalah besar dalam penanggulangan TBC di Indonesia,” ucapnya

Acara kemudian dilanjutkan dengan opening speech dari dr. Imran

Direktur P2P Kemenkes RI, Pambudi, MPHM melalui video pendek memberikan apresiasi kepada STPI yang telah melakukan kajian-kajian ini.”Semoga hasilnya dapat dimanfaatkan secara luas dan menjadi masukan untuk strategi program TBC mendatang,” harapnya

Dalam webinar itu, Ketua Yayasan REKAT, Ani Hernasari mengungkapkan bahwa dalam pengobatan TBC membutuhkan jangka waktu yang cukup lama sehingga tidak jarang pasien TBC merasa jenuh, stres dan lelah minum obat. “Oleh karena itu, saya juga menyampaikan pesan kampanye global terkait 1/4/6 x 24 untuk regimen pendek bagi Terapi Pencegahan TBC (TPT), TBC Sensitif Obat (SO) dan TBC RO,” ungkapnya 

Paduan obat dan pencegahan yang pendek akan meningkatkan kualitas hidup orang dengan TBC karena jika semakin pendek tidak perlu mengeluarkan biaya lebih banyak dan tidak perlu berhenti bekerja. “Selain itu, pil yang ditelan juga lebih sedikit sehingga efek samping pengobatan juga lebih minimal,” jelas Ani.

Talk show dimoderatori oleh dr. Henry Diatmo, MKM selaku Direktur Eksekutif STPI dengan paparan pertama oleh Nurliyanti selaku MEL Coordinator STPI yang menyampaikan tentang 2 penelitian STPI dalam paparan Pentingnya Perlindungan Sosial untuk Orang dengan TBC RO.

Nurliyanti menjelaskan, hasil penelitian pihaknya menunjukkan bahwa biaya katastropik tidak hanya dialami oleh masyarakat di kategori miskin, tetapi juga dapat dihadapi masyarakat ekonomi menengah. “Hal ini terjadi karena hilangnya pekerjaan dan menurunnya pendapatan finansial selama berobat. Namun, 75 persen responden orang dengan TBC RO yang miskin dan rentan miskin belum mendapatkan bantuan finansial dari Program Keluarga Harapan (PKH), karena akses ke bantuan tersebut berdasarkan kondisi keluarga pra-sejahtera belum membantu saat rumah tangga mengalami kerentanan ketika terdampak TBC RO,” jelasnya

Rekomendasi utama dari kedua penelitian STPI yang disampaikan oleh Nurliyanti adalah untuk Pemerintah merumuskan perlindungan sosial bagi orang dengan TBC RO baik dengan sistem yang ada atau skema baru. 

Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial diharapkan bersinergi dalam melakukan integrasi data, perencanaan, implementasi intervensi, serta monitoring dan evaluasi untu penyelenggaraan perlindungan sosial tersebut.

Paparan kedua disampaikan oleh dr. Panji Fortuna Hadisoemarto, MPH tentang Hasil Analisis Data Pasien TBC RO PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI. Diketahui bahwa data yang dianalisis olehnya sebanyak 7.483 yang tersebar di seluruh Indonesia. Analisis data dilakukan dengan regresi ordinal dengan hasil bahwa sebagian besar pasien TBC RO adalah laki-laki (58,88 persen), tersebar paling banyak di Jawa-Bali (73 persen) dan kelompok usia 15-64 tahun paling banyak pasien TBC.

Selain itu, dr. Panji juga menyampaikan bahwa terdapat 3 faktor yang menyebabkan pasien TBC RO putus berobat. “Pasien yang berdomisili di luar pulau Jawa-Bali, pasien yang menjalani short-term regimen dan pasien yang berusia tua adalah faktor kemungkinan untuk pasien mengalami putus berobat,” papar dr. Panji. 

Dalam rekomendasi penelitian data pasien TBC RO tersebut, dr. Panji mengatakan, perlu strategi yang lebih kuat lagi dalam segi pelayanan kesehatan terutama di luar pulau Jawa-Bali serta dalam pendampingan komunitas agar bisa menurunkan kemungkinan putus berobat.

Paparan terakhir mengenai Rekomendasi Penguatan Peranan OMS dan Komunitas dalam Penanggulangan TBC RO disampaikan oleh Erman Varella selaku Program Manager STPI.

Varel menyampaikan, beberapa topik rekomendasi untuk penguatan peran organisasi masyarakat sipil (OMS) dan komunitas dalam mendukung perawatan orang dengan TBC RO. “Diperlukan peningkatan kapasitas bagi Organisasi Penyintas TBC (OPT) dan OMS terutama pada Manajer Kasus (MK) dan Patient Suporter (PS) untuk melakukan pendampingan sejak terdiagnosis baik dalam literasi pengobatan baru yang berjangka pendek, melakukan investigasi kontak, mengelola efek samping obat aktif, memberikan legitimasi peran mereka dalam fasilitas kesehatan, melakukan advokasi terkait rantai pasok obat dan alat diagnosis terbaru, serta memanfaatkan data lapangan menjadi pengetahuan untuk umpan balik program,” paparnya

Dari ketiga paparan yang telah disampaikan, terdapat tanggapan dari para penanggap mengenai tindak lanjut dalam pengembangan kebijakan untuk mengoptimalkan penanggulangan TBC RO.“Penelitian STPI itu sangat relevan dan terjadi di negara kita ini. Pasien TBC tidak otomatis mendapatkan subsidi atau dukungan pembiayaan terkait beban katastropik yg dialami. Ada upaya yg sudah dilakukan untuk masuk ke bantuan sosial atau PKH tapi belum berkesinambungan sehingga masih perlu terus diadvokasi”, ujar dr. Tiffany Tiara.

Ketua Tim Kerja TBC, Pakasi, MA menegaskan, dalam mendukung pengobatan pasien TBC RO,  harus menyesuaikan dengan kebutuhan mereka. “Disamping memberikan pendampingan oleh MK dan PS, pasien TBC RO juga mengalami beban ekonomi sehingga harus ada kebijakan dari pemerintah diluar dari edukasi oleh MK dan PS,” tegasnya

Pesan dari Budi Hermawan selaku Ketua POP TB Indonesia. Dr. Artawan selaku Ketua Jejaring Riset Tuberkulosis (JETSET TB) Indonesia juga memberikan tanggapannya atas paparan dari para pemapar. “Dari penelitian yang kami lakukan, diketahui bahwa stigma dan diskriminasi berpengaruh terhadap terjadinya kecemasan dan depresi pada pasien TBC RO, sehingga kedepannya untuk penanggulangan TBC juga diperlukan pelayanan yang holistik dengan melibatkan para psikiater dalam penanganan TBC RO,” tuturnya

Dewan STPI dan Ketua KOPI TB, Dr. dr. Erlina Burhan mengatakan, stigma pada  TBC ini luar biasa dan bahaya, karena menghambat kepatuhan, keberhasilan pengobatan dan penemuan kasus. 

Stigma ini, lanjut dr. Erlina, bisa dialami oleh pasien itu sendiri atau self stigma, jadi suara para penyintas ini sangat diperlukan untuk meningkatkan pelayanan TBC. “Indonesia perlu memperbanyak TB Champion hingga puluhan ribu seperti di India,” ujarnya.

Talk show diakhiri dengan sesi Rencana Tindak Lanjut (RTL). 

Tujuannya untuk pengembangan rencana advokasi STPI yang dilakukan dengan mengumpulkan input dari para peserta untuk memprioritaskan rekomendasi kebijakan yang dipaparkan oleh para presenter. [slnews – rul].

Tags:

0 thoughts on “Talk Show STPI, Rumuskan Rekomendasi Kebijakan Untuk Penanganan TBC di Indonesia

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

KATEGORI

April 2023
M S S R K J S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  

STATISTIK