Bakesbangpol Lombok Tengah Gagas Penanganan Komplik Sosial Terintegrasi
SUARALOMBOKNEWS | Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Lombok Tengah menggas inovasi kebijakan komplik sosial sebagai instrumen memperkuat Lembaga Demokrasi di Bumi Tatas Tuhu Trasna (Tastura).
Hal itu diungkapkan Kepala Bakesbangpol Lombok Tengah, Murdi AP,.M.Si saat memaparkan materi gagasan Penanganan Komplik Sosial Terintegrasi pada acara Demokrasi Bekerja yang dihadiri oleh Dosen IPDN Kampus NTB, Bagian Hukum Setda Lombok Tengah, Bagian Organisasi Setda Lombok Tengah dan dari unsur Kejaksaan Negeri Lombok Tengah di ruang rapat Bupati Lombok Tengah, Senin, (5/8/2024).
Murdi menyampaikan, digagasnya Penanganan Komplik Sosial Terintegrasi, dilatarbelakangi atas keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 281 juta. “Pada satu sisi merupakan kekayaan bangsa yang dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat,” ucapnya.
Namun pada sisi lain, kata Murdi, kondisi tersebut dapat mendatangkan dampak negatif jika permasalahan kemiskinan, ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial – ekonomi, serta dinamika kehidupan politik tidak terkendali.”Sementara itu, kinerja lembaga demokrasi yang diharapkan dapat membantu percepatan akselerasi pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara, serta belum liniernya penerapan sistem tata negara yang sudah desentralistik dengan sistem kepartaian yang masih sentralistik, diperhadapkan pada lingkungan yang semakin tidak pasti, kompleks, dan ambigu yang digambarkan sebagai dunia mengakibatkan semakin cepatnya perubahan dinamika sosial,” katanya.
“Atas dasar itulah, menginspirasi Bakesbangpol Lombok Tengah menggas Penanganan Komplik Sosial Terintegrasi dalam hal ini mencakup infrastruktur dan suprastruktur politik, diantaranya institusi sosial seperti kelembagaan agama dan kelembagaan adat budaya, institusi politik seperti organisasi politik, partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan media massa, serta organisasi negara seperti instansi pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat,” sambung Murdi.
Murdi memaparkan, kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan konflik, terutama konflik yang bersifat horizontal. Konflik tersebut, terbukti telah mengakibatkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis seperti dendam, benci, dan antipati, sehingga menghambat terwujudnya kesejahteraan umum.
Menurut Murdi, sistem penanganan konflik yang dikembangkan selama ini lebih dalam mengarah pada penanganan yang bersifat militeristik, represif, dan sering mengabaikan Hak Asasi Manusia. Berbagai upaya Penanganan konflik terus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk membentuk kerangka regulasi baru.“Dengan mengacu pada strategi penanganan konflik yang dikembangkan oleh Pemerintah, kerangka regulasi yang ada mencakup tiga strategi. Pertama, kerangka regulasi dalam upaya Pencegahan Konflik seperti regulasi mengenai kebijakan dan strategi pembangunan yang sensitif terhadap Konflik dan upaya Pencegahan Konflik. Kedua, kerangka regulasi bagi kegiatan Penanganan Konflik pada saat terjadi Konflik yang meliputi upaya penghentian kekerasan dan pencegahan jatuhnya korban manusia ataupun harta benda. Ketiga, kerangka regulasi bagi penanganan pasca konflik, yaitu ketentuan yang berkaitan dengan tugas penyelesaian sengketa/proses hukum serta kegiatan pemulihan, reintegrasi, dan rehabilitasi,” paparnya
Pada dasarnya, lanjut Murdi, terdapat tiga argumentasi pentingnya kebijakan tentang Penanganan Konflik Sosial, yaitu argumentasi filosofis, argumentasi sosiologis, dan argumentasi yuridis. Pertama, jaminan tetap eksisnya cita-cita pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKR), mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, tanpa diganggu akibat perbedaan pendapat atau Konflik yang terjadi di antara kelompok masyarakat. Kedua, tujuan NKRI adalah melindungi segenap bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam suku bangsa, agama, dan budaya serta melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk Demokrasi berkinerja memberikan jaminan rasa aman dan bebas dari rasa takut dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Ketiga, tanggung jawab negara memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tentram, damai, dan sejahtera baik lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan. Bebas dari rasa takut merupakan jaminan terhadap hak hidup secara aman, damai, adil, dan sejahtera.
Sedangkan argumentasi sosiologis kebijakan tentang Penanganan Konflik Sosial berkaitan dengan, Pertama Negara Republik Indonesia dengan keanekaragaman suku bangsa, agama, dan budaya yang masih diwarnai ketimpangan pembangunan, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial, ekonomi dan politik, berpotensi melahirkan Konflik di tengah masyarakat. Kedua, Indonesia pada satu sisi sedang mengalami transisi demokrasi dan pemerintahan, membuka peluang bagi munculnya gerakan radikalisme di dalam negeri, dan pada sisi lain hidup dalam tatanan dunia yang terbuka dengan pengaruh asing sangat rawan dan berpotensi menimbulkan Konflik. Ketiga, kekayaan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan yang semakin terbatas dapat menimbulkan Konflik, baik karena masalah kepemilikan maupun karena kelemahan dalam sistem pengelolaannya yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat setempat. Keempat, Konflik menyebabkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut, rusaknya lingkungan dan pranata sosial, kerugian harta benda, jatuhnya korban jiwa, timbulnya trauma psikologis (dendam, benci, antipati), serta melebarnya jarak segregasi antara para pihak yang berkonflik sehingga dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Kelima, Penanganan Konflik dapat dilakukan secara komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel, dan transparan serta tepat sasaran melalui pendekatan dialogis dan cara damai berdasarkan landasan hukum yang memadai dan Keenam, dalam mengatasi dan menangani berbagai Konflik tersebut, Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah belum memiliki suatu format kebijakan Penanganan Konflik komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel dan transparan, serta tepat sasaran berdasarkan pendekatan dialogis dan cara damai.”Output yang diharapkan dari gagasan ini setidaknya mencakup tersedianya ketetapan kepala daerah tentang pedoman penanganan konflik sosial. Terlaksananya integrasi kebijakan penanganan konflik sosial. Sedangkan Outcome yang diharapkan terwujudnya product penanganan konflik sosial yang memiliki legitimasi hukum dan legitimasi politik. Terwujudnya proses bisnis penangan konflik sosial yang efektif, efisien, cepat, dan akuntabel dan terintegrasinya perangkat kerja penanganan konflik sosial,” ujar Murdi AP. [slNews – rul].
Tinggalkan Balasan